Indonesia: Sesat, Bid'ah, Haram wal Kafir



Hari Jum'at kemarin, saya membuka media sosial buatan yahudi yang sudah lama tidak ditengok. Sependek pengetahuan saya yang amat minimalis ini, kata Jum'at biasanya diikuti dengan berkah. Itu juga saya tahu karena mengikuti akun mbah Mus. Kalau kalian juga mengikuti akun media sosial mbah Mus (Ahmad Mustofa Bisri), tentu familiar dengan postingan Beliau dengan tagar Jum'at Berkah.

Sayang seribu sayang, saat keluarga beliau masih dilingkupi kesedihan sepeninggal Bu Nyai Fatma awal bulan Juli lalu, sekonyong-konyong ada seseorang memposting—yang dia sebut draft—mengenai Dewan Revolusi Nasional yang diprakarsai mbah Mus. Sedikit banyak saya terpancing juga untuk berkomentar di kolom yang sudah tersedia. Tapi, mendadak saya urungkan. Mengingat ocehan dengan kepala dan hati panas, biasanya berbalik mental kepada yang melontarkan. Apalagi tanpa dilandasi ilmu tentang masalah yang diperbincangkan. Malah mbingungi.

Lagipula, berita dari media sosial ini, kan, memang agak nganu untuk benar-benar bisa dipercaya. Ah, bukan hanya dari media sosial sepertinya. Media apapun itu rasa-rasanya memang tidak ada yang bisa dipercaya. Apalagi pemberitaan tentang politik, ekonomi dan agama (sebetulnya ini alibi saja, sebab saya tak memiliki ilmu atas ketiga hal tersebut. Hahaha...).

Scroll-scroll sekira 5 menit, saya terhenti pada satu akun yang di-like oleh kawan lama semasa SMA dulu. Isinya, tentang percakapan Anak-Ibu tentang perayaan ulang tahun. Sang anak melontarkan pertanyaan retoris kepada Ibunya,

“bukannya perayaan ulang tahun itu haram?”

Agak nganu di hati saya. Seorang anak, 'seharusnya' mengisi dirinya dengan berbagai pengalaman. Bermain dan mengalami segala macam hal untuk dipelajari sendiri. Orangtua, menurut saya, tidak seharusnya mendoktrin sesuatu ini begini dan sesuatu itu begitu dengan label halal-haram. Wong wilayah halal-haram itu 100% haknya Gusti Allah. Kanjeng Nabi SAW saja, pernah ditegur kok soal menentukan halal-haram. Tak percaya? Silakan dibuka surat At-Tahrim ayat 1.

Soal penghakiman (perbuatan) halal-haram ini, saya berasumsi, mereka—yang mudah sekali melabeli halal-haram tanpa dasar ilmu—berpedoman pada hadits Kanjeng Nabi SAW yang berbunyi, “barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.

Dalam pandangan personal, saya lebih tertarik untuk ngoncek'i lagi kata "menyerupai" yang dimaksud Rasulullah SAW. Bukan saya sok pintar atau apa, hanya mencoba mendayagunakan anugerah akal. Jadi, sebisa mungkin, dalil ayat maupun hadits tidak akan saya terima taqlid begitu saja. Kecuali hal-hal yang berkorelasi dengan ibadah mahdloh, tentunya.

Di keluarga saya memang tidak pernah ada tradisi merayakan ulang tahun. Tapi, orangtua saya tidak serta merta melarang atau mengharamkan itu. Pun Guru-Guru di mana saya pernah dan masih belajar. Untuk hal muamalah seperti ini, bisa saja kita menimbang dalam hal manfaat-mudharatnya. Apakah sesuatu yang memiliki nilai manfaat lebih besar daripada mudharat, akan saya haram-haramkan? Jika jawabannya iya, bisa dipastikan akal saya sudah mati. Mungkin juga saya kafir, karena menutupi 'kebenaran'.

Tidak adanya tradisi merayakan ulang tahun, bukan berarti juga keluarga saya tak bermaulid. Terutama Ibu, ialah anggota keluarga yang paling gemar menghadiri acara Maulid Nabi SAW di kampung-kampung wilayah rumah. Dan mungkin hal maulid ini saya khususkan. Dalam artian khusus, kalau ada orang yang iseng melarang saya untuk 'merayakan' maulid, akal akan saya letakkan dahulu. Mari kita berbicara dengan kepalan tangan. Ayo, antem-anteman.

Tapi, tak sedikit ternyata kelompok yang mengharamkan Maulid Nabi SAW, lalu dengan mudahnya menuduh bahwa yang merayakan adalah pelaku bid'ah, dan bid'ah itu sesat, sesat itu haram, lalu berujung kafir.

Saya kadang kesal dengan perilaku orang-orang yang mudah sekali menunjuk-nunjuk selain mereka dan kelompoknya adalah sesat. Lalu dengan sok kuasa mengkavling surga seenak udelnya. Kok, rasa-rasanya mereka punya kuasa seperti pemilik mutlak lahan saja. Tafsir Islam itu sebanyak jumlah pemeluknya, dan tak ada satupun yang memiliki kebenaran mutlak. Masing-masing berposisi sebagai kebenaran relatif yang juga berpotensi salah. Jadi, ya, sebaiknya tidak semena-mena memonopoli kebenaran hanya milik satu kelompok. Yah, kalau mereka punya kenalan 'orang dalam', boleh juga, sih, saya jadi jama'ahnya.

Kalau dipikirkan lagi, Indonesia ini sepertinya terindikasi bahaya laten penuding sesat, bid'ah, haram dan kafir. Bahkan, ada yang sampai menuding Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki itu kafir. Yaa Robb (put emote cry here). Kalau ulama sekelas beliau saja berani mereka kafirkan, apalagi 'cuma' Gus Dur, Quraish Shihab, atau mbah Mus. Sepertinya, bagi mereka, semua orang di negeri ini adalah sesat dan tak layak jadi penghuni surga.

Jangan seperti itu, lah. Kita dianugerahi akal, kan, sebagai pembeda dari makhluk Allah lainnya. Pelajari Islammu dengan berbagai cara, jarak, sudut dan resolusi pandang. Walaupun ilmu Islam saya jauh di bawah kalian, tapi, saya sadar kalau Islam itu baik, benar dan indah. Islam tidak sedikitpun, saya ulangi, tidak sedikitpun mengajarkan tentang kebencian kepada apa siapa. Meski demikian, saya menolak dengan tegas untuk menyalahkan keyakinan selain itu. Lha, saya sendiri belum terbukti jelas sudah benar-benar Islam atau belum. Karena akidah itu urusanNya. Sebagai makhluk yang diadakan, saya tak memiliki keberanian untuk bertindak melebihi kuasaNya. Karena memang saya tak punya kuasa apa-apa. Sedikit-sedikit kok main tuduh bid'ah sesat haram kafir. Kalau mengaku berakal, tidak sepatutnya kita menjadi manusia 146.

Sebetulnya bukan urusan saya, andai mereka menganggap perayaan Maulid Nabi SAW itu bid'ah dan haram. Tapi, mbok ya o, nggak usah melarang-larang orang lain untuk merayakan cintanya kepada Beliau. Kalau memang ingin mengingatkan, lakukan dengan akhlaq Rasulullah SAW, bukan dengan akhlaq jahiliyyah, teriak-teriak sambil bawa pentungan. Pernah dengar kisah Rasulullah SAW saat ada seseorang yang mengencingi masjid?

Perihal bid'ah dan haram ini bukan saja hanya pada kasus Maulid Nabi SAW, tapi, banyak hal. Satu contoh, Pancasila. Untuk hal lainnya, saya tak berkeinginan untuk merunut satu persatu. Toh, seumpama landasan melabelkan bid'ah satu tindakan hanya karena Rasulullah SAW tidak melakukan hal itu, memangnya mereka benar-benar murni dari bid'ah? Mbel.

Dengan analogi Rasulullah SAW adalah kota ilmu, maka, tentunya ada sudut-sudut kota yang tidak sembarang orang boleh masuk ke wilayah itu. Ilmu Allah yang diturunkan kepada Beliau itu teramat sangat luas. Jangan mempersempit ilmu Allah hanya karena tidak adanya riwayat yang menyampaikan dengan terang-terangan. Wong Gusti Allah itu Super Duper Ultra Tera Giga Mega Maha Rahasia, sudah barang tentu ada ilmu-ilmuNya yang disampaikan dengan rahasia. Khusus untuk orang-orang yang dikehendakiNya.

Dan berpegang pada hal ini, sudah sewajibnya kita hanya menuhankan Allah Ta'ala saja, bukan menuhankan agama. Karena bisa dengan sangat gamblang kita mengamati di Indonesia ini, banyak orang sibuk beragama, tapi, tak berTuhan. Mengaku Islam, tapi, urusan akhlaq, malah berbanding terbalik dengan Rasulullah SAW.

Hal ini jadi memunculkan sedikit pikiran, bahwa masyarakat Indonesia ini seharusnya belajar dahulu tentang fenomenologi daripada tentang agama. Lho, kok, gitu? Memangnya bisa, kita beragama tanpa sebelumnya terlebih dahulu menjadi manusia seutuhnya?

Comments