Antara Che Guevara dan Zaskia Gotik

 

Rasanya sayang kalo Minggu cerah ceria gini cuma dipake buat update status facebook, ya? 

Kira-kira 2 atau 3 hari lalu—atau kemarin, saya lupa. Ada seseorang yang bercerita kepada saya. Bahwa ladangnya dikritik, dianggap keluar pakem, keluar jalur. Buah yang dihasilkan nanti berpotensi meracuni umat. Awalnya saya tak paham mengenai kritik perladangan ini. Lantas saya tanya beberapa hal, dan aha! sedikit clue bisa membuat pijakan kita jadi seimbang.

Saya ingin tahu, adakah dari sekian banyak makhluk penghuni Bumi yang tidak berjuang? Iblis dan setan yang kita laknat di setiap hembusan napas, saya rasa mereka juga berjuang. Bagaimana dan apa yang diperjuangkan, saya belum tahu. Mungkin lain waktu saya diberikan kesempatan mewawancarai Iblis ‘yang terlaknat’ untuk bisa mengorek sedikit informasi tentang perjuangannya.

Bagaimana dengan manusia? Adakah manusia yang tidak berjuang? Saya rasa tidak ada. Naluri dasar sebagai makhluk yang diberi napas, ya, berjuang untuk hidup. Survival. Itu adalah salah satu perwujudan rasa syukur, menurut saya. Jika kita menemukan cara yang tidak sama, jangan kaget. Kembar identikpun tidak bisa dikatakan sama persis, apalagi yang tidak kembar. Sekian miliar manusia jelas berbeda sidik jarinya. Jadi, nggak usah sok mau menyeragamkan aliran, pemikiran, atau segala sesuatu yang memang olehNya sudah ditulis berbeda. Dia itu Maha Kreatif!

Kita sebagai sesama murid tentu tak bisa saling menilai rapor. Bahwa perjuangan Solikin lebih keras daripada Widodo. Tidak, tidak bisa seperti itu juga. Solikin tidak berada di posisi Widodo, dan sebaliknya. Cukuplah Solikin menilai dirinya sendiri, dan Widodo juga demikian. Kita sebagai pengamat tak usah turut campur untuk memberi penilaian terhadap perjuangan mereka. Saling menghargai perjuangan, lah. Memang tidak mudah seperti itu. Saya sendiri, kadang masih suka melemparkan candaan kepada teman-teman yang ingin mendirikan Khilafah di bumi Nusantara.
“kalian pindah ke planet Mars saja sana! Indonesia bukan Negara Islam!”
begitu candaan saya. Sudah tentu saya tidak memikirkan efek yang diterima mereka seperti apa. Andai mereka bisa menerima dan tidak merasa tersakiti hatinya, Alhamdulillah. Lha kalau mereka tersinggung, lantas sakit hati, sudah jelas saya dholim fid-dunya wal akhiroh. Toh, saya hanya menilai perjuangan mereka dari kacamata personal. Saya juga tidak mengerti 100% agenda yang mereka perjuangkan. Jika nanti mereka meminta pertanggungjawaban di Yaumul Hisab, saya bisa apa? Padahal belum tentu juga perjuangan saya menegakkan ke-kaffah-an Islam bisa setangguh mereka, kan? Bahkan bisa dibilang saya malah tidak berjuang sama sekali. Saya wajib meminta maaf sudah melecehkan, merendahkan dan menghina perjuangan mereka. Memalukan memang, tapi sudah menjadi kecenderungan saya untuk bertindak yang tidak sesuai dengan apa yang saya bicarakan. Semoga tidak menjadi kebiasaan. Tolong, maafkan saya, teman-teman khilafah.

Itu baru satu contoh, masih banyak contoh perjuangan hidup yang lain. Dunia ini tak melulu soal hitam-putih. Jika kita menyiapkan diri menjadi prisma, kita bahkan bisa mendapat 7 sudut warna. Bahkan ada warna yang tak bisa dibiaskan oleh prisma itu sendiri. Bapak-bapak yang sedang mengajar ngaji di surau sebuah desa, tentu tak tertangkap mata oleh kaum elit berdasi yang setiap harinya membahas perekonomian dunia yang naik turun, perpolitikan di suatu Negara yang nantinya bisa menguntungkan atau merugikan mereka, atau sistem pertahanan negerinya sendiri—yang entah kenapa mudah sekali dibobol oleh invader-invader. Bapak pengajar itu tak perlu susah payah untuk memikirkan poleksosbudhankam negeri ini. Bagaimana agar masyarakat di sekitarnya tidak buta huruf hijaiyah, itu yang menjadi pikiran Beliau.

Lalu, apakah para elit berdasi itu punya hak untuk menghakimi Bapak itu dengan tuduhan Beliau sama sekali tak memikirkan keadaan Bangsa dan Negara? Tidak bisa begitu, kan? Beliau berjuang dengan caranya, Beliau berjuang dengan kemampuan dan apa yang tersisa darinya. Tak bisa kita lantas menilai bahwa Beliau tidak melakukan perjuangan. Jangan-jangan, Dia Ta’ala malah lebih memandang kepada Beliau daripada elit berdasi itu. Yang ingin saya tekankan, tak usahlah merasa perjuangan kita itu yang paling keras, paling diridloi olehNya, paling didukung oleh semesta. Tak usah. Berjuang, ya, berjuang saja. Tak usah pula menuding-nuding dan menghakimi perjuangan orang lain sudah keluar jalur, yang bahkan bisa menyesatkan. Apanya yang disesatkan? Pemikiran? Akhlaq? Atau akidah? Standard untuk dikatakan sesat itu apa? Yang tidak sejalan dengan egomu? Atau agamamu? Lantas, jika Dia yang Maha Kuasa memutuskan sesuatu yang tidak sejalan denganmu, masih punya keberanian untuk menudingNya sesat? Pikirkan saja perjuanganmu, dengan menyiapkan langkah dan agenda serta target yang sekiranya bisa tercapai sesuai kemampuan. Seperti ditulisan sebelum ini, tak ada tanggung jawab yang lebih. Semuanya diberikan tanggung jawab sesuai kadar kemampuannya, kawan. Dia Maha Adil.

Kalaupun kita terpaksa harus memberikan sudut, cara, jarak dan resolusi pandang yang lain, lakukan dengan adab, cara dan akhlaq yang sopan. Sesuaikan pandanganmu dengan apa yang diperjuangkan orang lain itu. Janganlah kamu menilai perjuangan Che Guevara dengan kacamata Zaskia Gotik. Itu, ada Jaka Sembung. 


Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

***disclaimer: jangan terlalu serius membaca, sewaktu memulai tulisan ini, langitnya cerah ceria. Tapi, itu mendungnya sudah datang lagi. Kumbahanmu ndang dientasi, yem.

Comments