Bapak Camat, Wakil Tuhan di Tanah Sunda



Saya tidak paham mengapa ada-ada saja cara Tuhan untuk menggoyahkan iman di bulan Ramadan. Sahur telah cukup, file-file terlarang telah diamankan, begitu pula foto Haruka JKT48 telah di-hidden sementara setiap harinya dari sejak sahur hingga menjelang berbuka. Tapi, tetap saja godaan lain menghampiri dan minta banget dikomentari.

Beberapa hari kemarin, ada akun following twitter saya, me-retwit akun portal berita. Kabarnya, seorang Camat di wilayah Kabupaten Bogor menghukum push up warganya yang tertangkap razia makan di siang hari saat bulan Ramadan. Beliau yang terhormat adalah Bapak Chairuka Judhianto, Camat Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ingat, Kabupaten, ya. Bukan Kotamadya. Jadi, nggak usah sensi sama Bima Arya.

Saya berhusnudhon, para pegawai pemerintah ini adalah comic seperti Ernest Prakasa, Dodit Mulyanto dan kawan-kawannya itu. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan. Kalau nama yang tersebut tadi, mungkin sebagian dari kalian menganggapnya lucu dan bahkan cenderung cerdas. Yang pegawai negara ini, sama sekali nggak lucu. Mungkin, Bapak Camat ini dulunya seorang mantan aktipis dakwah kampus yang hobi nyidang temen-temennya pacaran. Masya Allah...

Sungguh, saya tak meragukan ketegasan dan kebaikan Bapak Chairuka dalam menegakkan Islam yang kaffah. Itu patut diapresiasi. Tapi, mbok kalau mau melaksanakan tugas yang ada hubungannya sama agama—iya, agama yang namanya Islam itu—dicari dulu dalilnya. Entah dari Al Qur'an atau Al Hadits. Kalau Pak Camat dan seluruh pegawai Kecamatan Leuwiliang ndak ada yang bisa nahwu shorof buat menafsiri Kalamullah, kan, masih ada kitab-kitab fiqh dari Ulama-ulama. Bebas, mau Syafi'i, Hambali, Maliki, atau Hanafi. Beli yang terjemahan aja, jangan yang berbahasa Arab. Bisa bahlul, ente sekecamatan. Tapi belinya pake duit pribadi, ya. Kalau pake APBD, nanti kalian bisa-bisa masuk televisi pake seragam tahanan KPK.

Kalau boleh, saya sedikit kasih sudut pandang untuk Bapak Camat. Boleh, ya, Pak? Oke, terima kasih.

Jadi gini... Yang orang Islam tahu, puasa itu termasuk Rukun Islam. Nomer berapa, hayo? Nggak usah diinget-inget gitu, Pak. Saya tahu Bapak dan seluruh pegawai Kecamatan Leuwiliang lupa karena saking sibuknya. Tentu saja, sebagai abdi negara yang berazaskan Pancasila, Rukun Islam itu urgensinya nomer sekian. Akan lebih baik jika waktu seorang abdi negara digunakan untuk merazia warga yang makan di siang hari pada bulan suci Ramadan. Eh, sebentar, kalian ini abdi negara apa abdi agama, ya? Kok, saya bingung.

Bapak juga nggak usah repot-repot menanyakan alasan kenapa mereka nggak puasa. Orang yang nggak puasa itu paling cuma kuli bangunan, tukang becak atau tukang parkir yang panas kentang-kentang ngatur mobil para pejabat seperti Bapak itu. Mereka bisanya cuma kerja kaya gitu buat nyambung hidup demi keluarga tercinta. Yah, Islam itu yassir wa la tu'assir; mudahkan, jangan dipersulit. Saya yakin, Bapak pasti sudah menyediakan lapangan pekerjaan buat warganya, mereka aja yang malas.

Terusnya, ya, Pak. Dikatakan lagi bahwa puasa itu untuk Gusti Allah langsung. Langsung, lho, Pak. Nggak pake perantara marketing (makelar everything), Malaikat, atau Nabi dan Rasul. Wih, sebagai seorang Camat, Bapak sukses melihat keistimewaan ibadah puasa. Haqqul yaqin Bapak pasti sudah paham hal ini. Bapak ingin warga yang beragama Islam di Kecamatan Leuwiliang masuk surga semua. Dengan kesucian dan kemurnian hati, Bapak membantu Gusti Allah menghukum hambaNya yang tidak berpuasa di bulan Ramadan. Ternyata, selain Camat, Bapak juga merupakan wakil Tuhan di tanah Sunda.

Ah, saya salah selama ini. Tuhan tidak se-Maha Kuasa itu. Dia bahkan membutuhkan bantuan Bapak dalam menegakkan syariat Islam. Lho, jangan-jangan Tuhan sudah mati, ya, Pak?

Sepanjang siang sampe sore, saya sudah membolak-balik Al Qur'an, Hadits, sampe Riyadlus Sholihin-nya Imam Nawawi—yang masya Allah punya 372 bab itu—tentang hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadan. Biasa, Pak, nyari dalil. Hasilnya, nihil. Kalau Bapak punya dalil yang sahih mengenai hal itu, mungkin Bapak bisa berbagi bacaan kepada kami, umat yang teramat hina ini.

Kok, saya mau repot-repot nyari dalil? Kalau bertindak dalam hal keagamaan tapi tanpa menyertakan dalil, nanti Bapak bisa dibid'ah-bid'ahkan, lho, sama Walikota. Kan, nggak enak kalo coldwar sesama pegawai pemerintah, Pak. Apa kata Pak Jokowi nanti? Apalagi dalam hal tingginya jabatan, Bapak di bawah Walikota. :(

Lho, kok jadi bawa-bawa bid'ah? Lah, gimana lagi, Pak. Yang Bapak lakukan itu masih dalam lingkup ibadah puasa, toh? Puasa itu ibadah mahdloh, Pak. Ibadah yang dilakukan tanpa menambah dan/atau mengurangi amalannya. Contoh lainnya, semua hal yang tersebut di rukun Islam itu ibadah mahdloh. Jangan lakukan kecuali yang diperintahkan. Adanya begitu, ya, lakukan seperti itu. Titik. Lain sama ibadah muamalah. Kalau muamalah, lakukan kecuali yang dilarang. Ndak pake dalil ndak papa. Yang penting bernilai keadilan, kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Makanya, saya suka bingung sama yang hobi teriak-teriak bid'ah itu. Sholawatan kok bid'ah, bid'ah ndasmu iku.

Lagian, kenapa hukumannya cuma push up, sih? Ra mashoookkkkk! Masa iya orang disuruh push up terus jera, nggak melakukan perbuatan dosa lagi? Kurang, Pak, kuraaang. Hukuman meninggalkan puasa itu haruslah berat, Pak. Sekalian, biar para pelaku dosa seperti 13 orang itu, merasakan adzab di dunia. Dihukum jadi gubernur Jakarta, misalnya. Atau jadi presiden Republik Indonesia tercinta-yang-berazaskan-Pancasila-tapi-takut-sama-LGBT-dan-komunisme-anehnya-gak-takut-sama-ISIS-yang-doyan-bunuh-bunuhin-orang-Islam-padahal-penduduk-Indonesia-mayoritas-Islam. Setelah Bapak mengambil alih tugas Tuhan di dunia, nanti biar Tuhan yang menghukum (lagi) mereka di akhirat. Keren, ya, Pak. Camat Leuwiliang didapuk menjadi wakil Tuhan di tanah Sunda.

Oh, iya. Bapak juga harus tegas dan lebih giat lagi melakukan razia. Ini bulan baik, bulan suci. Setiap perbuatan yang bernilai ibadah, akan diganjar berkali-kali lipat pahala. Jangan cuma puasa yang dirazia, Pak. Kalau perlu, mulai syahadat, sholat, zakat sampe naik haji dirazia juga. Kan, rukun Islam ada 5, Pak.

Jadi, mulai sekarang, Bapak razia itu warga di Kecamatan Leuwiliang. Jangan sampe ada satu wargapun—yang beragama Islam—yang tidak mengucap syahadat, tidak mendirikan sholat, tidak membayar zakat, dan tidak menunaikan haji padahal mampu. Seandainya atasan Bapak ada yang tidak sholat atau tidak naik haji padahal mampu, jangan segan-segan untuk menghukum para pendosa itu. Wakil Tuhan kok dilawan!

Terakhir, nih. Sepertinya akun portal berita itu salah mengutip kalimat Bapak. Masa, iya, ucapan Bapak ditulis “hukuman khusus bagi yang beragama Islam. Yang wajib puasa, kan, yang beragama Islam” Wah, dasar akun portal berita ngawur! Wartawannya pasti nggak pernah ikut pesantren kilat Ramadan.

Di surat Al Baqoroh 183, bunyi awalnya “Ya Ayyuhal-ladzina Amanu”. Amanu, bukan Islamu. Level iman, tentu saja tidak bisa diselidiki hanya dengan bermodal KTP belaka, sebab orang yang berKTP Islam, belum tentu hatinya bener-bener beriman kepada Tuhan. Siapa tahu, Tuhannya mereka itu materi, atau kekuasaan, atau akal, atau arogansi sektarian, atau egonya sendiri. Makanya, justru puasa itu wahana latihan agar sedikit-sedikit kaum muslimin dan muslimat mikirin Tuhan dengan ikhlas, bukan justru gara-gara takut disuruh push up.

Demi kesucian dan kemurnian hati, saya mohon Bapak mau memaafkan wartawan yang salah mengutip itu. Semoga dia diberi hidayah oleh wakil Tuhan. Apalah saya ini, Pak, yang menganggap laku keberimanan, dan khususnya laku beragama tak lebih dari sekadar sempakan: ia wajib untuk dikenakan tiap hari biar si 'Joni' aman, tapi tak perlu juga ditunjuk-tunjukkan ke orang-orang. Medheni malahan!

Semoga juga, langkah Bapak bisa ditiru oleh seluruh pemimpin di Indonesia. Dan semoga, puasa Bapak dan seluruh pegawai di jajaran kantor kecamatan Leuwiliang tidak hanya mendapat lapar dan dahaga. Allahumma aamiin.


NB: Bapak Bupati Bogor kalau mau baca, ya, nggak papa, lho.

Comments