'Perang' Klan Asy'ari dan Klan Zahid



Hampir bisa dipastikan, semua umat muslim di dunia pernah mendengar 2 (dua) nama ini, yakni Harun al-Rasyid dan Abu Nawas. Banyak dari kita percaya, bahwa beliau berdua adalah sosok imaji dari kisah 1001 Malam yang terkenal di Negeri Baghdad, Irak. Pun saya sendiri, saat masih masa sekolah dasar dulu.

Lambat laun, seiring pertambahan usia dan buku-buku yang dibaca, akhirnya terungkap bahwa beliau berdua benar-benar ada di masa kekhalifahan Abbasiyyah.

Harun al-Rasyid adalah khalifah, pemimpin umat kala itu. Sedangkan Abu Nawas, oleh Allah diberi peran sebagai rakyat biasa. Meski demikian, ada kisah yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Nawas adalah seorang Maulana. Beliau merupakan Syaikh/Mursyid dari Baginda Harun al-Rasyid. Saya pribadi belum bisa menerima kisah tersebut, tapi, juga tidak menolak. Toh, Maulana Abu Nawas selalu berhasil selamat dari 'tipu daya' dan 'kelicikan' Baginda Harun al-Rasyid. Bahkan membalas perbuatan Baginda. Kecerdikan dan kebijaksanaan Maulana Abu Nawas, mustahil dimiliki seseorang yang bukan kekasihNya.

Tak ada satupun dari kita yang menganggap bahwa Baginda begitu jahat dan semena-mena kepada Maulana. Karena kita paham, itu adalah ungkapan kemesraan dan kasih sayang seorang murid kepada mursyidnya. Tentu tak bisa dinilai wajar oleh kita yang sholat wajibnya saja masih menunda-nunda, atau bahkan mungkin alpa.

Syahdan, berabad-abad setelah itu, kemesraan dua kekasih Allah ini, bereinkarnasi di satu negeri yang jauh dari wilayah Baghdad. Sebuah negeri ijo royo-royo yang berada tepat di lintasan khatulistiwa. Satu negeri yang menjadi jujugan Kanjeng Sunan-Kanjeng Sunan, yang kita menyebut beliau-beliau sebagai Wali Songo. 9 (sembilan) kekasihNya yang berhasil memperkenalkan Allah SWT, Rasulullah SAW serta Islam dengan jalan rahmatan lil 'alamin.

Di satu wilayah negeri itu, dekat dengan Ibukota Majapahit, tersebutlah seorang Kyai besar hendak mendirikan pesantren. Kyai tersebut merupakan salah satu murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Ya, beliau adalah Hadlratusy-Syaikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga kakek dari Gus Dur (Allahu Yarham). Sebelum kedatangan beliau ke wilayah itu, konon, saudara seperguruannya yakni Kyai Imam Zahid—yang juga kakek Cak Nun—sudah lebih dulu bermukim di wilayah tersebut.

Mengambil jarak beberapa puluh tahun setelah era dua Kyai sepuh tersebut, saat itu, Nusantara yang sudah berganti nama menjadi Indonesia, sedang berada dalam keadaan teramat kritis. Rakyat yang dipimpin oleh satu presiden selama 32 tahun, mulai berani menunjukkan ke-antipati-annya terhadap sang pemimpin.

Sebagai seorang tokoh nasional, Cak Nun ingin mengadakan pertemuan dengan sang presiden untuk diajaknya berikrar yang berisi 4 sumpah, antara lain:


  1. Bersedia untuk tidak lagi menjabat sebagai presiden.
  2. Bersedia untuk tidak campur tangan terhadap pemilihan presiden berikutnya.
  3. Bersedia diadili oleh negara.
  4. Bersedia mengembalikan harta negara yang dibuktikan oleh pengadilan.


Sayang, karena tuduhan yang berujung fitnah dari kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah, upacara ikrar yang sekiranya hendak dilaksanakan di Masjid Baiturrahman DPR, dibatalkan oleh Cak Nun sendiri. Sorenya, Cak Nun sowan ke kediaman Gus Dur. Gus Dur, yang sudah mengetahui peristiwa tersebut, berkata kepada Cak Nun,

Gus Dur: “Ngene ae, Cak. Tanggal 3 Maret, Pak Harto tak susul'e jam 8 nang Istiqlal. Engko jam 9 langsung diupacarai nang kono...”
Cak Nun: “Lho, temen tah, Gus?”
Gus Dur: “Iyo...”

Selepas itu, Cak Nun berpamitan. Di depan kediaman Gus Dur, Cak Nun bertemu dengan para wartawan. Cak Nun, yang gembira mendapat tawaran dari Gus Dur, menanggapi wartawan dengan apa adanya. Beliau menceritakan perihal tawaran Gus Dur yang hendak menjemput Pak Harto. Wartawan, yang merasa ini adalah berita besar, segera masuk ke kediaman Gus Dur untuk bertemu dan melakukan kroscek berita. Gus Dur, seperti yang kita pahami beliau seperti apa, menjawab para wartawan dengan santainya,

“Ah, jare sopo? Biasa Cak Nun iku ngomong sing gak gak...”

JEDER!

Apakah ini berarti Gus Dur 'mengkhianati' Cak Nun? Atau, Gus Dur sedang berbuat jahat kepada Cak Nun? Tentu saja tidak! Untuk menghadapi ulama' seperti Gus Dur, sejenak kita perlu meletakkan nalar dan prasangka-prasangka serta meluaskan akal dan hati. Karena sempitnya akal dan hati hanya mempermudah pihak yang ingin memecah belah persatuan.

Lalu, kisah pun berlanjut. Cak Nun 'kecolongan'. Merasa dikerjai oleh Gus Dur, beliau mempersiapkan rencana untuk 'membalas' kejadian tersebut. Bersama Ustaz Haydar Yahya dan Haddad Alwi, Cak Nun kembali mengunjungi Gus Dur. Ditemui oleh Gus Ipul (Saifullah Yusuf, wagub Jawa Timur yang juga keponakan Gus Dur), Cak Nun menemui Gus Dur di kamar dengan kondisi yang kurang sehat. Terjadilah adegan 'balas dendam'.

Cak Nun: “Gus, nyuwun sewu niki rodok urgent...”
Gus Dur: “Opo'o, Cak?”
Cak Nun: “Iki aku ditekani wong tópó teko Pacitan. Adoh-adoh ten nggen kulo kajeng'e ngandani nek diluk engkas sampeyan iki katé oleh tugas gede. Dadi kudu fresh, energine sampeyan kudu prima. Terutama mripat'e sampeyan kudu beres. Pesen'e wong iku mau, engko sampeyan dadi pemimpin. Syarat'e, siapno godong waru, ember karo banyu. Godong waru iku mau dicelupno banyu, trus di-fatihah-i ping pitu. Mari ngono ditemplekno nang bathuk'e sampeyan...”

Gus Dur yang mendapat pesan dari sahabatnya, meminta tolong kepada Gus Ipul untuk menyiapkan syarat 'ritual'. Dengan cepat, Gus Ipul menyiapkan syarat-syarat ritual tersebut. Dan Gus Dur, dengan hati yang bersih tanpa menaruh kecurigaan apapun kepada Cak Nun, melaksanakan ritual hasil pembalasan Cak Nun dengan khusyuk.

Bisa kita bayangkan, Kyai nomor satu NU (Nahdlatul Ulama) dikerjai sahabatnya dengan menempelkan daun di keningnya. Tentu kedua sahabat itu bersyukur sebab belum adanya ponsel berkamera. Dan kita adalah pihak yang menyayangkan karena tak turut terlibat oleh kemesraan dua kekasih Allah tersebut.

Dua kejadian tersebut, tidak mungkin terjadi jika beliau berdua tidak memiliki keluasan hati dan bukan berasal dari Jawa Timur. Gus Dur dengan ke-nyentrik-annya, dan Cak Nun dengan ke-mbeling-annya, menyatu dalam cara pengungkapan kasih sayang yang tak bisa dipahami oleh selain mereka. Sebab luasnya hati beliau berdua, tak ada sedikitpun dendam yang disimpan. Karena yang terjadi adalah kemesraan.


***catatan kecil dari Sinau Kedaulatan bulan Mei 2015 di Kampus B Universitas Airlangga yang juga dihadiri Gus Ipul.

Comments