Mencari Sang Maha Ada



Sejak adanya Adam dan Hawa, manusia menghabiskan waktunya melakukan pencarian. Apa saja. Jati diri, sandang, pangan, uang, kekuasaan, segala macam kesibukan dunia, serta Tuhannya. Insting hewani yang juga dimiliki turut mengasah pula bagaimana cara untuk terus bertahan hidup. Dibekali akal oleh Sang Khalik, inovasi-inovasi terus bermunculan di tiap detiknya. Waktu seolah tak mampu membendung temuan-temuan ‘Sang Khalifatul ‘Ardl’. Layaknya belang pada Harimau, jalan pencarian yang ditempuh manusia tak memiliki satupun kesamaan, meski dengan tujuan yang sama. Pilihan yang diambil, sikap dalam menghadapi masalah di tengah pencarian dan berbagai macam perbedaan yang nantinya akan muncul. Bagi para penganut free will, manusia sendiri yang akan menentukan jalannya, apakah ia akan mencari dengan jalan yang dirasa baik atau buruk, itu terserah-serah mereka. Tak pernah ada kepastian pattern atau pola yang bisa di-standard-kan sebagai acuan.
Jika dilogikakan, kita tak mungkin mencari sesuatu yang sebenarnya ada dan tampak. Pencarian dilakukan ketika manusia merasa kehilangan sesuatu, atau paling tidak, sesuatu yang dimaksudkan tak tampak di hadapannya.

Syahdan, sebelum masehi, seorang manusia bernama Ibrahim AS. Dia mencari keberadaan Tuhan Yang Maha Tunggal. Matahari, bulan, bintang, gunung, dan segala macam benda di bumi yang tampak olehnya dianggap tak mampu merepresentasikan Tuhan. Tuhan—menurut definisinya—haruslah Dzat yang tak terbit kemudian tenggelam, nampak lalu bersembunyi, dan tak serta merta hancur oleh pergeseran kerak bumi. Tuhan adalah Maha Perkasa, bisa dirasakan di tiap napas hamba-Nya. Bisa dibayangkan kesulitan manusia Ibrahim mencari Tuhan tanpa adanya clue satupun yang dipegang. Jauh berbeda dengan anak turunnya. Musa dengan Tauratnya, Daud dengan Zaburnya, Isa dengan Injilnya, yang akhirnya disempurnakan ketiga kumpulan firman Tuhan itu dalam waktu 23 tahun. Pewarisnya, manusia mutiara berakhlaq sempurna, Muhammad SAW.

Di era Muhammad SAW, pencarian jawaban atas Tuhan semakin ‘mudah’. Penyempurnaan yang Tuhan lakukan di kitab akhir jaman tersurat dengan jelas. Para agamawan dan spiritualis bermunculan di era post-Muhammad. Sebut saja Jalaluddin Rumi, Al Ghazali, 4 Imam mazhab, dan tak ketinggalan, Abdul Qadir Al Jilani. Dari pihak perempuan, diwakilkan oleh Rabiah Al Adawiyyah. Kesemua nama yang tersebut di atas memperkenalkan Tuhan kepada awam menurut jalan dan caranya masing-masing. Cinta, tarian, pemikiran, dan sebuah perkumpulan para spiritualis pencari Tuhan yang disebut thariqah. Tak terekam jejak sejarah umum bagaimana pencarian mereka. Tapi, dunia mengakui bahwa kesemua nama tersebut adalah profesor di masing-masing perannya. Peran yang seperti apa? Mari kita saling mencari. Bukankah diri kita sendiri memiliki peran juga?
Untuk ‘mencari’ Tuhan, juga dibutuhkan kitab suci, Firman-Nya. Firman Tuhan yang termaktub dalam kitab suci tak bisa dimaknai dengan tekstual. Banyak hal yang menurut manusia—yang memiliki limitasi akal, ilmu dan pengetahuan—bahwa tindakan Tuhan sangat amat tidak masuk akal. Kemurkaan dan Kasih Sayang-Nya, misalnya. Dia menjungkirbalikkan kaum Luth, tapi, di sisi lain, Dia mengangkat seorang pelacur ke dalam surga ‘hanya’ karena memberi minum seekor anjing. Binatang yang bagi kalangan Islam liurnya memiki nilai najis. Tuhan, bagaimanapun juga Dia, adalah sumber dari segala sumber ke-Maha Paradoks-an. Tidak hanya itu, Dia adalah sumber dari segala sumber sumber. Dia adalah Awal, Dia pula Akhirnya. Dia tak berawal, dan juga tak akan berakhir.

Pencarian atas nama Tuhan bagi beberapa kalangan adalah kenikmatan. Apapun yang diterima mereka adalah berkah dan wujud dari Kasih Sayang-Nya tak bisa dimengerti oleh makhluk hina. Mungkin, awam melihatnya itu adalah sebuah penderitaan, tapi, bagi mereka itu adalah suatu kenikmatan yang nilainya tak bisa dibayar bahkan oleh seluruh isi alam semesta. Tak hanya mengupas apa isi kitab suci yang tersurat, mereka juga mengupas firman Tuhan yang tersirat. Mereka membaca gunung, tanah, hujan, sungai, daun, awan, dan apa saja yang terlihat oleh mata kasat. Bagi para spiritualis, menangkap kalimat Tuhan hanya dengan bantuan akal dirasa kurang, karena Tuhan juga memberikan hidayah berupa hati. Bisa juga disebut rasa (roso, Jawa.red). Pelajaran yang didapatkan dari laku membaca inipun berbeda pula di tiap pencari. Tergantung ‘tingkat kecerdasan’—yang masa ini lazim disebut IQ. Bukan hanya itu, kekuatan niat dan tekad dalam menemukan Allah pun, juga sangat berpengaruh. Hamba yang mencintai Khaliknya dengan seluruh jiwa raga, tak akan merasa rugi jika dunia memunggunginya. Allah ‘Azza wa Jalla tak ternilai oleh apapun, kapanpun, di manapun. Kecerdasan, niat dan tekad juga belum cukup sebagai bekal mencari Allah. Manusia juga harus lebih mengenal dirinya sendiri, personalitasnya. Jika dirasa meniru akhlaq dan personalitas Rasulullah Muhammad SAW dianggap terlalu berat, bisa kita lihat dan pelajari bagaimana akhlaq serta personalitas Khilafah Al-Rasyidin. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Umar Ibn Khattab RA, Utsman Ibn Affan RA dan ‘Ali Ibn Abi Thalib KW.

Seperti yang pernah siMbah EAN pernah ceritakan dalam majelisnya, 4 Auliya’ Allah ini memiliki cara dan jalan masing-masing dalam ‘menemukan’ Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA; Beliau membutuhkan waktu untuk merenungkan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Hingga dalam akhir renungannya, Beliau dapat menemukan Allah. Umar Ibn Khattab RA; Beliau menemukan Allah dengan jalan ‘menabrakkan’ satu hal dengan yang hal lainnya. Watak Beliau yang dikenal keras, membuatnya tak bisa menemukan Allah dengan jalan Abu Bakar yang wataknya paling lembut. Utsman Ibn Affan RA; seorang saudagar dengan kekayaan luar biasa. Jalan Utsman menemukan Allah dengan cara ‘menghitung’. Tentu bukan dalam arti hitungan materi, karena Beliau sendiri dikaruniai kekayaan yang berlimpah. Lain Abu Bakar, lain Umar, lain Utsman, lain pula ‘Ali. Singa Padang Pasir yang memang terkenal paling cerdas di antara semua sahabat Kanjeng Nabi, memiliki jalan yang teramat sulit bagi awam untuk dijalani. ‘Ali, dengan kecerdasan dan hidayah yang Allah berikan padanya, tak memerlukan perenungan, menabrakkan satu hal dengan lainnya, atau menghitung setiap peristiwa yang terjadi. Karena setiap yang dipandang, dirasa, didengar, dicium, dan dikecap inderanya, ‘Ali sanggup menemukan Allah. Teramat pantaslah jika Rasulullah SAW adalah kota ilmu, maka Sayyidina ‘Ali KW adalah pintunya.

Dari 4 sahabat Rasulullah SAW di atas, kita memiliki acuan dasar sebagai jalan untuk mencari dan menemukan Allah. Jika 4 contoh dirasa tidak ada yang mewakili personalitasmu, temukan sendiri jalanmu. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan hamba-Nya dengan keunikan masing-masing. Engkau bukan Abu Bakar, bukan pula ‘Ali. Engkau adalah dirimu sendiri.

Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu.

Sesudah manusia menemukan dirinya dan Tuhannya, jangan berpikir bahwa tugas telah selesai. Setelah berbagai macam hal dimasukkan ke dalam diri dan mengolahnya sedemikian rupa hingga akhirnya menemukan Tuhan, maka hal ‘urgent’ selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengeluarkan kembali. Output. Hasil apa yang diperoleh selama pencarian dan akhirnya menemukan Tuhan. Seperti yang diceritakan sejarah, orang-orang yang berhasil menemukan Tuhan merupakan segolongan manusia yang sangat beradab perilaku dan akhlaqnya. Terlepas dari khilaf sebagai manusia, mereka mengabdikan hidupnya untuk orang lain. Karena menurut Rasulullah SAW, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sekitarnya. Bagaimana mereka memanusiakan manusia lainnya, setiap gerak tubuhnya hanya diabdikan untuk sekitarnya. Mereka terlepas dari keinginan dunia, hanya berharap ridlo Allah semata. Lillahi Ta’ala. Tak sedikitpun menyimpan kebencian di sudut hatinya. Hanya cinta yang keluar dari setiap laku dan kata-kata. Seolah mereka adalah manifestasi dari Cinta itu sendiri. Manusia yang wajib ada di masyarakat, sebagai penghancur kebencian dan penyebar kecintaan.

Lantas, di manakah posisi kita berada?


Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

Comments