Emansipasi Privacy



Di era sebelum masehi, banyak manusia menafsirkan bahwa peradaban belum semaju saat ini. Mereka menjelajah sudut bumi dan menggali berbagai macam informasi demi terkuaknya rahasia-rahasia yang manusia modern tak memiliki pengetahuan atasnya. Bahtera Nuh, pesawat di era kenabian Hud AS, atau mungkin, permadani terbang Nabi Sulaiman AS. Beberapa meyakini dengan segenap hati, tak sedikit pula yang mencaci dan menganggap itu hanya bagian dari dongeng kitab suci.

Bahkan dikatakan, ada satu bangsa di peradaban masa silam memiliki teknologi yang orang modern sedikit susah untuk mempercayai, telepati dan teleportasi. Bisa dibayangkan, segala macam alat komunikasi konvensional dan modern hanya akan menjadi tertawaan di hadapan bangsa tersebut. Sekali lagi, itu hanya dianggap sebagai dongeng belaka. Tak ada saksi hidup dan bukti otentik-ilmiah.

Seiring waktu berjalan, teknologi bergerak ke depan, mungkin beberapa pendapat mengatakan ke belakang. Email, facebook, twitter dan berbagai macam media sosial tampil sebagai satu penemuan teknologi komunikasi dan informasi yang bernilai mahal. Makhluk yang bernama manusia saling berlomba-lomba untuk menunjukkan kegiatan sehari-harinya. Apa saja. Mulai bangun dari tidur hingga memasuki waktu tidur. Tak jarang, mereka menuliskan serangkaian kata yang disebut do'a kepada Sang Maha Ada. Dengan kekhusyukan, rangkaian kata tersebut diketikkan penuh pengharapan. Belum jelas, pengharapan kepada Tuhan atau pengharapan kepada tombol like, comment, share dan retwit. Tak adanya ruang privacy antara hamba dengan Tuhan adalah pemandangan lazim di media sosial.

Paling ekstrem yang bisa kita jumpai, perihal cekcok rumah tangga dan masalah keluarga. Kalimat bercampur umpatan yang diketikkan sedemikian rupa menunjukkan keresahan, kegelisahan dan kekesalan pemiliknya. Tanpa ragu, hal yang sebenarnya adalah aib, dipamerkan. Batinnya (atau egonya) berteriak lantang, seluruh dunia harus mengerti dan memahami. Atau minimal bersimpati dan berempati. Ruang pribadi keluarga hanya ditutupi oleh dinding-dinding kaca.

***

Yang tak disadari, permintaan pencantuman nomor telepon dengan alasan safety pada media sosial adalah salah satu cara dari para penggenggam dunia untuk mengawasi setiap gerak-gerik manusia. Sebagai pengguna, tentunya paham informasi apa saja yang terkandung pada simcard masing-masing provider. Di awal waktu kita membeli simcard, data diri wajib dicantumkan. Alasannya, untuk keamanan. Entah keamanan siapa. Seolah mereka bisa menjamin keamanan kita hanya dengan bermodal data-data. Toh, sebenarnya tak ada satupun manusia yang aman dari dirinya sendiri.

Lebih aneh lagi, satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan, di tiap sudut jalannya menyediakan kamera pengintai. Tak paham pula untuk alasan apa, keamanan jugakah? Kebebasan seperti apa jika selama 24 jam seluruh kehidupan selalu berada dalam pengawasan?

Setiap negara memiliki potensi masing-masing. Apakah sumber daya alam, atau sumber daya manusianya. Dan para penggenggam dunia itu, tak ingin melewatkan perkembangan setiap negeri. Apakah nanti lebih menguntungkan atau malah merugikan—katakanlah—kantongnya. Bukankah setiap gerak-gerik kita terekam oleh teknologi mereka?

Ini hanya dari sisi teknologi. Padahal privacy sendiri memiliki banyak sisi. Bisa diamati, di era sekarang ini banyak manusia yang memamerkan privacy tubuhnya atas nama hak asasi. Upaya Muhammad Ibn Abdullah memperbaiki akhlaq seakan menjadi mitos belaka. Kuno dan tertinggal kadang disematkan kepada manusia-manusia yang dengan keyakinan menutup tubuhnya. Jika memamerkan dan menutup tubuh berangkat atas nama hak asasi, kenapa harus ada dikotomi modern dan kuno?

Semakin maju jaman, semakin logika diputarbalikkan. Aib yang seharusnya disimpan rapat, hari ini malah disebarluaskan tanpa sekat. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, semoga kita bisa menjaga diri dari godaan-godaan duniawi.



Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad.

Comments